Perbedaan adalah suatu hal yang sangat lumrah. Satu waktu saya pernah berdiskusi dengan teman saya. Saya memiliki perbedaan pandangan dengannya terkait cara menghadapi/mendidik anak-anak usia jenjang Sekolah Menengah Pertama. Teman saya memiliki pendapat bahwa dalam hal menghadapi anak usia segitu harus selalu dengan menggunakan cara yang tegas —jika tak ingin dibilang keras—. Ketegasan di sini yang dimaksud dicontohkan ketika anak melakukan kesalahan maka ia harus langsung dimarahi bahkan dihukum. Alasannya adalah karena memang anak dengan usia yang baru menginjak masa remaja jika diajak untuk diskusi, biasanya mereka belum mampu. Untuk itu maka kekerasan dalam menanganinya adalah satu-satunya jalan yang dirasa efektif oleh temanku. Sedangkan saya tidak benar-benar melakukan apa yang ia anggap benar tersebut.
Apa yang menjadi pandangan saya adalah selain menggunakan kekerasan tersebut, diperlukan juga pemberian penjelasan dan pengertian yang intens terkait dengan kesalahan yang telah dilakukan anak. Kekerasan (ketegasan) dilakukan jika si anak benar-benar telah membangkang, yakni ketika ia telah diingatkan dan diberi penjelasan berkali-kali, akan tetapi masih saja melakukan kesalahan yang sama. Menurut saya antara kekerasan (ketegasan) dan lemah lembut haruslah seimbang. Jika hanya condong kepada salah satunya itu tidaklah baik.
Katakanlah jika seseorang hanya menggunakan sikap lemah lembut, bisa jadi si anak tidak mengerti bahwa itu adalah bentuk kasih sayang seorang guru. Ia menganggap lemah lembutnya guru adalah kelemahannya dan bisa jadi membuat si anak tidak memiliki respect terhadapnya. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang hanya dominan memiliki sikap tegas (keras/kasar) saja dalam mendidik anak, mungkin saja si anak akan merasa ketakutan yang berlebih sehingga dapat menghambat proses belajarnya. Atau bagi anak yang pemberani mungkin saja ia memberontak ketika ia sudah tak tahan mengikuti perintah gurunya lagi. Dan yang demikian itu tentu saja membuat si anak tidak memiliki respect terhadapnya. Maka dari itu, bagi saya memiliki kedua sikap tersebut (tegas dan lemah lembut) secara berimbang sangat diperlukan sekali dalam membimbing anak usia Sekolah Menengah Pertama. Dengan begitu si anak akan merasakan bahwa apa yang ia peroleh tentu ialah kasih sayang dari sang guru. Dari perbedaan pandangan tersebut, saya dapat memahami apa yang menjadi pola pikir teman saya dan juga saya lebih bisa mengonsepkan apa yang saya lakukan dalam menghadapi anak usia jenjang Sekolah Menengah Pertama. Dengan perbedaan itu pula kami mampu menghargai perbedaan antar pendapat tanpa harus memaksakannya. Modal sosial yang dipakai dalam pengalaman saya tersebut adalah karakter masyarakat yang moderat dan toleran. Adapun indikator moderasi beragamanya adalah toleransi.
Wildan Ahmad Al-Faruqi
Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, IAIN Kudus