Memeluk agama merupakan kebutuhan menusia. Sehebat apapun dia, setidak percaya apapun dia terhadap Tuhan, dia akan tetap membutuhkan agama. Karen Amstrong di bagian akhir buku terkenalnya History of God berkata, “Manusia tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; mereka akan mengisi kekosongan itu dengan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna.” Bila manusia tidak berada dalam wadah agama yang dikenal sekarang, bisa jadi dia sedang ‘menuhankan’ uang, jabatan, atau bahkan pemikirannya sendiri. Seperti halnya orang yang mengejar harta kekayaan tanpa menoleh pada agama, meskipun di KTP-nya tertulis agama tertentu namun bukanlah Tuhan yang ia sembah. Atau seorang atheis yang memiliki ideologi yang sangat kuat dalam menjalani hidupnya, dia tidak memercayai adanya Tuhan, maka dia telah bersandar pada selain Tuhan. Pada akhirnya manusia tidak bisa hidup tanpa bersandar kepada sesuatu, karena beragama merupakan fitrah.

Tahap selanjutnya dari kecenderungan manusia untuk beragama adalah manusia seringkali mencoba membujuk manusia lainnya untuk turut memercayai apa yang diyakininya benar. Bahkan dalam agama tertentu, orang yang menyiarkan agama haruslah memiliki kualifikasi tertentu. Namun demikian, baik penyiar agama maupun pemeluknya terkadang secara tidak sadar menyelipkan unsur ‘paksaan’ pada ajakan menuju agama mereka. Hal ini dikarenakan adanya keyakinan besar terhadap apa yang dipercayainya (fanatisme). Meski diawali oleh niat baik untuk bersama selamat melalui kepercayaan yang dianggapnya benar, namun paksaan dalam mengajak ke dalam kebaikan bukanlah termasuk kebaikan itu sendiri. Seperti halnya yang difirmankan Allah Swt. dalam Al-Qur’an, “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama”. Ayat ini menekankan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih dan menjalani agamanya dengan sukarela, tanpa paksaan.

Kebutuhan memeluk agama merupakan fitrah yang melekat sedari manusia lahir ke dunia, sehingga ia termasuk hak asasi. Kebutuhan beragama berdiri tegak berkolerasi dengan hak asasi manusia lainnya yakni kebebasan. Kebebasan beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap yang tidak terikat atau merdeka untuk memeluk sesuatu agama atau keyakinan yang diinginkan. Kebebasan beragama menjadi hak yang harus dijunjung oleh seluruh manusia, baik pelaku agama maupun orang lain di sekitarnya. Namun begitu, hak ini seringkali berbenturan dengan keinginan orang lain yang disebutkan di atas. Beragama seharusnya merdeka dari intervensi yang bersifat paksaan, karena hal tersebut mencederai konsep kebebasan itu sendiri.

Kebeasan beragama memiliki implikasi baik pada masyarakat. Termasuk di dalamnya persatuan melalui tolenrasi. Konsep kebebasan beragama masih relevan dalam Masyarakat modern. Banyak negara dengan mayoritas penduduk beragama mengakui hak-hak kebebasan beragama dalam konstitusi mereka. Mereka memberikan perlindungan hukum kepada minoritas agama dan memastikan bahwa setiap individu memiliki hak untuk menjalankan agamanya dengan bebas. Dapat disimpulkan bahwa kebebasan beragama selaras dengan toleransi dan perdamaian serta bertolak belakang dengan permusuhan dan perpecahan.

Pada akhirnya, kebebasan beragama beserta toleransi yang dibawanya masih dibutuhkan dalam masyarakat modern dewasa ini. Dengannya diharapkan masyarakat spiritual dapat terwujud bebarengan dengan perkembangan teknologi yang pesat. Kesemua hal tersebut  demi kebaikan manusia secara luas itu sendiri, demi kebaikan anak turunan kita nanti.

Ikbal Fitriyanto (Aqidah dan Filsafat Islam, IAIN Kudus)