Gambar diambil dari Google

Berbicara perihal hubungan antara agama dan negara, sebelumnya kita harus memahami makna dari kedua hal tersebut agar dapat dengan mudah mencari tahu relasinya. Agama merupakan serapan kata dari bahasa sansekerta yakni “a” yang berarti “tidak” dan “gama” yang memiliki arti “kacau”, dan dapat diartikan bahwa agama adalah tidak kacau, atau juga dapat diartikan agama adalah haluan, jalan, dan ibadah kepada Tuhan. Sedangkan menurut istilah sendiri agama memiliki arti ajaran ataupun sistem yang mengatur konsep keimanan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta kaidah yang berhubungan dengan segala bentuk pergaulan manusia dengan sesama manusia serta lingkungan hidupnya, agama juga dapat diartikan sebagai Ad-din dalam bahasa semit dapat diartikan sebagai hukum atau undang-undang. Sedangkan menurut Clifford Geertz, agama memiliki arti sistem simbol yang berfungsi guna menentramkan hati dan memberikan motivasi yang kuat dan tahan lama dalam kehidupan manusia.

Sedangkan negara menurut bahasa berasal dari kata state (bahasa Inggris), staat (bahasa Belanda dan Jerman), atau etat (bahasa Perancis), ketiga kata tersebut berasal dari kata statum atau status yang memiliki arti keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang bersifat tetap tegak, sedangkan menurut bahasa sansekerta negara memiliki arti kota. Menurut istilah negara adalah organisasi dalam satu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat atau dapat diartikan sebagai alat dari masyarakat yang memiliki kekuasaan tertinggi untuk mengantur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Sedangkan menurut Roger H Soltau dalam bukunya an introduction to politics (1951), negara merupakan agen atau kewenangan yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat.

Setelah mengetahui pengertian dari kedua hal tersebut baik secara bahasa, istilah, dan menurut para ahli, baru kita beranjak kepada pembahasan relasi antar keduanya. Agama dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, agama mengantur pola keimanan dan kehidupan umatnya dan negara juga mengantur masyarakat dengan ketentuan dan aturan yang diatur oleh kesepakatan masyarakatnya, dua hal tersebut sudah bersinggungan dalam hal hidup manusia sama-sama saling mengantur, hal ini disebut juga dengan pola integralistik. Jika pola tersebut disalah artikan maka akan menimbulkan sikap masyarakat yang mendukung konsep negara agama, berlandaskan agama dalam menerapkan sistem pemerintahan. Selain pola tersebut ada juga relasi antar agama yang menerapkan pola simbiotik, yakni agama membutuhkan negara guna sarana penyebaran ajaran agama begitu pula sebaliknya negara membutuhkan agama guna mengatur pola hidup kemanusiaan warganya, karena secara tidak langsung seharusnya orang yang beragama ia akan memiliki sikap moral dan etika yang baik, hal ini secara tidak langsung dibutuhkan negara. Selain kedua hal tersebut ada juga pola relasi sekularistik yang memisahkan antara agama dan negara, dengan adanya dikotomi ini maka hukum positif yang akan diterapkan adalah hukum yang berasal dari manusianya itu sendiri.

Secara harfiah Indonesia menerapkan pola simbiotik yang mana agama dan negara saling berperan dalam proses terbinanya masyarakat, agama menjadi pembina dalam hal moral dan etik sementara negara menjadi penyedian layanan guna bisa melakukan pembinaan tersebut. Hal ini juga dilandaskan dengan rakyat Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, ras, agama, dan kebudayaan, namun bukan berarti negara Indonesia bukan negara yang agamis, masyarakat Indonesia pada umunya percaya akan agama hal ini lah yang melahirkan Indonesia sebagai negara yang agamis tapi tidak menerapkan suatu konsep pemerintahan dengan landasan satu agama saja. Salah satu bukti yang menunjukkan negara Indonesia sebagai negara yang agamis adalah peletakan dasar negara yakni pancasila dengan sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, selain itu juga di dalam konstitusi pada pasal 29 ayat 2, yang menjelaskan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Hal ini menunjukkan bahwa agama dan negara memiliki hubungan  yang simbiotik, yang mana saling menguntungkan satu sama lain.

Maka dari ini peranan agama dan negara tidak dapat dipisahkan, karena hakikatnya manusia bergantung kepada sesuatu yang ghaib/metafisik, yang mana jalan guna memahami sesuatu metafisik bisa didapatkan dengan cara beragama. Namun konsep agama dan negara juga dapat dipisahkan contohnya di jerman yang mana ia menerapkan konsep sekularisme, yakni memisahkan agama dan negara, hal ini dapat terjadi karena masyarakat di sana sudah tidak mementingkan agama berbeda dengan Indonesia yang mayoritas masyarakatnya menjunjung tinggi peranan agama dalam berkehidupan. 

Relasi antara agama dan negara merupakan sinegritas yang baik jika dilakukan dengan baik, kemampuan negara dalam pengelolaan individu tidak dapat masuk se dalam agama dalam pengelolaan individu. Agama mengantur umatnya dari bangun tidur sampai tidur kembali, mengatur konsep jual-beli, hukum, negara, ibadah, dan lain-lainnya, hal ini lah yang menjadikan agama dan negara harus bersinergi bersama. Negara juga berhak mengelola masyarakatnya namun tidak dapat seintim agama, dalam konsep ini relasi tersebut harus diciptakan, jangan sampai ada salah pemahaman karena jika terdapat salah pemahaman dalam beragama dan bernegara maka akan menimbukal aliran yang radikal dalam artian menganut pola integralistik yang salah kaprah.