Gambar diambil dari Google

Wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil aalamiin, demikian firman Allah subhanahu wata’ala dalam kitab suci Alquran Surat Alanbiya ayat 107. Pesan utamanya sangat mulia bersifat universal, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassaalam diutus tidak lain adalah untuk menjadi rahmat yang mengasihi seluruh alam, tidak hanya untuk manusia yang beragama Islam saja, namun untuk seluruh manusia apapun latar belakang suku, bangsa, agama, dan asal muasalnya. Pada bulan mulia tepatnya 12 Rabiulawal 1446 H yang bersamaan peringatan maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam kita ingat tiga pesan agar semangat rahmatan lil alamin tidak hanya basa basi saja.

Pertama, mengasihi sesama manusia tanpa membedakan asal tanah kelahiran. Kemuliahan sahabat Anshar penduduk asli Madinah menerima sahabat Muhajirin pendatang dari Mekah cukup menjadi contoh sempurna. Jadi, rahmatan likulli man ja’a min ayyi makaanin kaana, alias memberikan rahmat kasih sayang kepada semua manusia dari manapun dia berasal. Para wali dan ulama di Nusantara ini pada awalnya adalah pendatang dari negeri asalnya yang jauh misalnya Semenanjung Arab, Yaman, Persia, dan sebagainya. Pribumi Nusantara orang yang bijak sehingga menerima kehadiran mereka dan jadilah Islam sebagai agama dengan pemeluk terbesar di Nusantara. Demikian juga di Kudus yang dahulu entah apa namanya, kemudian Sayyid Jakfar Shadiq seorang dari Pelestina datang berdakwah dan memberinya nama dengan Kudus dari kata Alquds daerah asal kelahirannya di Palestina. Maka sejak 457 tahun lalu hingga sekarang penduduk Kudus damai bersanding dengan para pendatang dari Arab, Tiongkok, dan sebagainya. Itulah harmoni Istimewa ajaran Islam yang tidak membeda-bedakan manusia dari asal muasalnya.

Kedua, mengasihi sesama manusia tanpa membedakan asal pendidikan. Orang berpendidikan sesuai dengan disiplin keilmuan dan keterampilannya. Manusia dididik di jenjang pendidikan sejak pendidikan usia dini, taman kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan atas, dan hingga pendidikan tinggi, termasuk pendidikan madrasah dan pesantren. Dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda itu, masing-masing orang mempunyai kapasitas kelilmuan dan sosial kemasyarakatan yang sedikit berbeda. Dari manapun asal lembaga dan sistem pendidikan yang mendidiknya, tidak perlu ada silang sengketa, tidak perlu ada konflik yang serius karena ilmu dan pengetahuan itu anugerah Allah untuk kemaslahatan hidup manusia. Boleh saja identitas pendidikan dinampakkan, namun bukan untuk dibanggakan apalagi dibenturkan dengan pihak lain yang juga berpendidikan. Aliran pendidikan, aliran tarekat, aliran ideologi harus disatupadukan menjadi kekuatan sosial dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Itulah nasehat agama Islam yang sangat indah penuh harmoni untuk umatnya.

Ketiga, mengasihi sesama manusia tanpa membedakan status keberadaannya. Orang Jawa berkata, “tinitah pada, jinatah beda”, yang artinya manusia ditakdirkan sama sebagai hamba Allah dengan kewajiban yang sama untuk menyembah-Nya, namun di sisi lain manusia diberi nasib dan bagian yang berbeda agar satu dengan lainnya saling membutuhkan, saling membantu, ada mua’amalah dan perjuangan dalam menjalani kehidupan. Tidak sepatutnya, orang pandai mencemooh orang awam, tidak selayaknya orang kaya merendahkan orang miskin, juga tidak sepantasnya orang bernasib baik menghina orang yang nasibnya sedang susah. Itulah kasih sayang yang menunjukkan rahmat yang mengasihi semua orang dan semua mahluk. Semoga hidup kita semakin banyak mendapat anugerah rahmat Allah, kemudian kita semakin gemar bersikap penuh rahmat mengasihi semua manusia dari berbagai asal dan perbedaannya, amin. Wallahu a’lam.

Penulis : Kisbiyanto adalah aktifis Nahdlatul Ulama, dosen dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama IAIN Kudus, kisbiyanto@iainkudus.ac.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *