Manusia ditakdirkan untuk mencari jati dirinya di masa kapanpun mereka hidup. Sebut saja Dualisme Kartesius, Empirisme Locke, Kontrak Sosial Rousseau, Evolusi Darwin, Determinisme Freudian, dan lain sebagainya merupakan beberapa dari lautan ide yang dicetuskan oleh manusia tentang ontologi dirinya sendiri. Diantara teori-teori tadi terdapat yang menggunakan lantaran rasio, hati, intuisi, pengalaman, bahkan kombinasi dari kesemua metode tersebut. Dalam dunia religius dan spiritual, masyhur cerita pendiri agama Budha yakni Siddharta Gautama. Beliau adalah seorang manusia yang dianggap sudah mencapai level enlightment (pencerahan). Ajaran yang dibawanya mengajarkan cinta kasih kepada sesama manusia dan alam sekitar. Bahkan agama Buddha masih eksis sampai sekarang ini setelah melewati 2500 tahun lamanya. Dapat diapahami bahwa pencarian jati diri merupakan keniscayaan bagi manusia yang berakal.
Siddharta Gautama muda merupakan seoraang pangeran yang diberikan privilege harta dan perlakuan khusus dari kerajaan dimana ayahnya memerintah. Namun, saat beranjak dewasa, Siddharta merasa terganggu oleh penderitaan dan ketidaksempurnaan dunia. Ia merasa sangat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang penderitaan, penuaan, penyakit, dan kematian yang ada di luar istana kerajaan. Pada suatu malam, dia memutuskan untuk meninggalkan istana dan meninggalkan kehidupan mewahnya dalam pencariannya akan pemahaman yang lebih dalam tentang alam semesta. Siddharta mengembara selama bertahun-tahun, mencari guru spiritual dan berlatih berbagai ajaran keagamaan, termasuk meditasi. Ia mengalami berbagai macam pengalaman, termasuk kelaparan dan penderitaan fisik, dalam pencariannya untuk mencapai pencerahan. Pada suatu saat, Siddharta duduk di bawah sebatang pohon Bodhi di Bodh Gaya, India, dan bermeditasi secara intens selama 49 hari. Pada saat itulah ia mencapai pencerahan sejati. Setelah mencapai pencerahan, Siddharta Gautama menjadi Buddha, yang berarti “Pencerah” atau “Yang Terbangun.” Ia menghabiskan sisa hidupnya mengajar ajaran-ajaran ini kepada pengikutnya, yang kemudian dikenal sebagai umat Buddha. Ajaran-ajaran ini membentuk dasar agama Buddha, yang mengajarkan jalan menuju pembebasan dari penderitaan dan pencapaian Nirwana, keadaan yang bebas dari siklus kelahiran dan kematian.
Setali tiga uang dengan cerita Buddha tadi, terdapat seorang tokoh Jawa yang memiliki rekam perjalanan hidup yang mirip dengan Siddharta Gautama. Beliau bernama Suryomentaram putra dari Sri Sultan Hamengkuwono VII, seorang pangeran yang berasal dari Kasultanan Yogyakarta. Beliau adalah seorang bangasawan yang tidak merasakan ketentraman dalam gelimang harta kraton. Hal ini dikarenakan pikirannya yang tajam terhadap keadaan masyarakat pada masa itu. Dalam rekam jejaknya, beliau dikenal sebagai seorang yang berpartisipasi dalam pencarian makna ‘manusia’. Semasa di kraton, beliau tidak dapat menemukan ‘manusia’ di sana, yang ada hanyalah ambisi, harta, dan hiruk-pikuk manusia yang diperintah.
Suryomentaram pernah meminta agar gelarnya sebagai pangeran dicopot, namun hal tersebut tidak diperbolehkan oleh ayahnya Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Akhirnya beliau memilih jalan alternatif yakni kabur dari kraton. Di lingkungan masyarakat pribumi beliau bekerja serabutan sambil menjual kain. Beliau mencoba berbagai tirakat dari agama-agama dan kepercayaan yang berkembang pada masa itu, mulai dari Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Kejawen, dan lain sebagainya sebagai upaya pencarian ‘manusia’nya. Namun setelah beberapa waktu hilang dari kraton, beliau ditemukan oleh ayahnya dalam keadaan sedang bekerja menjadi kuli bangunan pembuatan sumur lalu disuruh kembali ke kraton. Beliau pun merasa gelisah kembali karena pertanyaan yang sama, “Di manakah manusia sejati?”.
Sepeninggal ayahnya, kakaknya naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono VIII. Barulah pada masa tersebut permintaan beliau untuk menjadi rakyat biasa dikabulkan. Beliau dikenal rakyat sekitar sebagai Ki Gede Suryomentaram, baarulah ketika bertemu dengan Ki Hajar Dewantara, gelar beliau berubah menjadi Ki Ageng Suryomentaram. Salah satu rumus paling terkenal beliau tentang menusia adalah: Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sabenere, Samestine, dan Sakpenake.
Ikbal Fitriyanto (Aqidah dan Filsafat Islam, IAIN Kudus)