Shafa Alistiana Irbathy

Indonesia adalah negara multikultural dengan banyak perbedaan agama, budaya, suku, etnis, ras dan bahasa. Keberagaman merupakan harta yang patut dibanggakan, karena dapat mendorong berkembangnya persahabatan dan kerjasama dalam kondisi yang beragam. Namun di sisi lain, hal tersebut juga merupakan tantangan yang dapat menimbulkan konflik jika tidak ditangani dengan baik.  Salah satu konflik yang sering muncul di Indonesia adalah konflik antar umat beragama.

Konflik antar umat beragama di Indonesia terjadi dibeberapa daerah antara lain konflik agama di Poso pada tahun 1992, konflik agama di Bogor terkait kebangkitan GKI Yasmin sejak tahun 2000, dan konflik Sunni-Syiah di Jawa Timur yang pecah sekitar tahun 2006. Selanjutnya dari 2012 hingga 2016 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) terjadi dibeberapa provinsi di Indonesia. Terdapat 5 provinsi dengan tingkat pelanggaran KBB tertinggi seperti Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Aceh dan D.I. Yogyakarta. Pelanggaran yang dilakukan KBB antara lain penutupan tempat ibadah, pembongkaran tempat ibadah yang sedang dibangun, perusakan tempat ibadah, dan pembubaran acara keagamaan. Aksi paling ekstrem dilakukan dengan pengeboman tempat ibadah. Selain itu, pelanggaran terhadap KBB juga dapat dilakukan dengan tidak menghormati dan menghargai agama lain.

Penting untuk mencegah dan meminimalisir terjadinya intoleransi. Dalam membangun toleransi mengatasi berbagai konflik yang muncul, moderasi beragama adalah suatu keharusan. Moderasi beragama berarti pengajaran agama tidak hanya untuk mengembangkan individu yang bertakwa secara pribadi, tetapi juga mampu menjadikan pemahaman agamanya menjadi alat penghormatan terhadap pemeluk agama lain.

Peran moderasi beragama dalam menyelesaikan berbagai permasalahan intoleransi beragama seperti konflik antar umat beragama sangatlah penting. Moderasi beragama adalah bentuk lain dari toleransi beragama. Dengan moderasi beragama diharapkan terjadi perubahan psikologi dan perilaku manusia, serta masyarakat lebih menghargai dan menghargai agama lain. Dalam penerapannya, agar moderasi beragama dapat terlaksana dengan baik, diperlukan strategi yang baik.

Dalam hal ini membangun sikap moderasi beragama ternyata harus ditanamkan sedari dini melalui pola asuh orangtua. Pola asuh orang tua merupakan persoalan yang beragam dan berbeda-beda. Hal ini akan mengenalkan seseorang tentang keragaman dan perbedaan dari realitas yang ada. Fanatisme dan ekstrimisme tidak terlepas dari faktor psikologis. Tentunya pola asuh orang tua berperan penting dalam pembentukan karakter seorang anak. Seseorang yang fanatik atau ekstrim menghabiskan banyak energi dan secara kognitif akan menjadi overthingking terhadap sesuatu. Hal ini berdampak tidak baik bagi kesehatan mental sehingga seseorang mudah marah terhadap sesuatu yang tidak ideal.

Meminjam teori Lickona, pembentukan karakter moderasi beragama dapat diimplementasikan melalui tahapan pengetahuan moral (moral knowing), perasaan (moral feeling), dan perilaku moral (moral behavior).

  • Pengetahuan Moral (Moral Knowing)

Pada tahap moral knowing, tidak mungkin terinternalisasikan sikap moderat tanpa didukung oleh pendidikan agama yang baik. Sebaliknya, seseorang yang hanya memiliki sedikit pendidikan agama cenderung berperilaku kaku, kasar, dan eksklusif. Orang dengan pemahaman agama yang baik akan cenderung berperilaku moderat.

  • Perasaan (Moral Feeling)

Pada tahap moral feeling, adanya kelekatan dengan ikatan emosional yang dibentuk seorang individu dengan orang lain yang bersifat spesifik. Kelekatan merupakan suatu hubungan yang didukung oleh pendekatan tingkah laku (attachment behavior) yang dirancang untuk memelihara hubungan tersebut. Dalam konteks ini, hubungan erat antara orangtua dan anak memberikan tanda bahwa hubungan keduanya sangat erat. Sehingga perasaan moral yang diberikan oleh orangtua melalui interaksi sosial dapat secara sengaja, disadari atau tidak, memperoleh apa yang disebut sebagai pengetahuan atas kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good) atas dasar role model dan imitasi terhadap lingkungan yang dibentuk oleh orangtua.

  • Perilaku Moral (Moral Behavior)

Proses transmisi pengaruh sosial kedalam diri seseorang dapat dilakukan melalui dua cara yaitu formal dan informal. Pada aspek formal, seseorang menyerap pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari melalui proses belajar formal. Sehingga hasil belajar formal itu nampak dalam tingkah laku verbal dan tercermin pada apa yang dipikirkannya. Disisi lain yang berkaitan dengan nilai dan pola tingkah laku yang dipelajari oleh anak melalui proses belajar informal, yaitu proses imitasi melalui kontak dan tingkah laku yang dilihat dari orantuanya.

Mengadopsi konsep yang dikenalkan oleh Lickona, dapat dipahami bahwa pembentukan penguatan moderasi beragama melalui pola asuh yang diberikan oleh orangtua merupakan aktualisasi dari karakter mulia (good character) yang meliputi pengetahuan tentang kebaikan, adanya komitmen (niat) terhadap kebaikan dan akhirnya munculah perilaku muslim yang moderat. Dengan kata lain, orangtua dapat membentuk karakter anak yang mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides) dan motivasi (motivations) dan serta perilaku (behavior). Penguatan moderasi beragama yang dilakukan melalui pembentukan karakter oleh orangtua merupakan sikap dan perilaku beragama dalam konteks sosial. Sikap sosial dalam ekspresi keagamaan dapat dikuatkan melalui pendekatan psikologi dan agama. Dalam implementasinya, orangtua dapat menjadikan nilai-nilai seperti toleran, moderat dan cinta tanah air sebagai satu sikap keagamaan yang dikembangkan melalui pembelajaran (kognitif) dan pembiasan dalam membangun diri seorang muslim moderat melalui pendekatan psikologis sesuai dengan dasar-dasar keislaman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *